Agustus 23, 2010

Apa Itu Wilayah Pertambangan dan Wilayah Pencadangan Negara?

Wilayah Pertambangan Menurut UU No 4 Tahun 2009 dan 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 22 TAHUN 2010


WILAYAH PERTAMBANGAN MENURUT UU NO.4 TAHUN 2009
 
BAB V
WILAYAH PERTAMBANGAN


Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1)  WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
(2)  WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 10
Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:
a.   secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b.   secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c.   dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Pasal 11
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 13
WP terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR; dan
c. WPN.

Bagian Kedua
Wilayah Usaha Pertambangan

Pasal 14
(1)  Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2)  Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 15
Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

Pasal 17
Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.

Pasal 18
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e. tingkat kepadatan penduduk.

Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga
Wilayah Pertambangan Rakyat

Pasal 20
Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR.

Pasal 21
WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.

Pasal 22
Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:
a.   mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b.   mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c.   endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d.   luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare;
e.   menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
f.    merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

Pasal 23
Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 24
Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.

Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.


Bagian Keempat
Wilayah Pencadangan Negara

Pasal 27
(1)  Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
(2)  WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)  WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4)  Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK.

Pasal 28
Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.   pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
b.   sumber devisa negara;
c.   kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;
d.   berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;
e.   daya dukung lingkungan; dan/atau
f.    penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010



Pasal 2
(1)  WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan.
(2)  Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya:
  1. indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau
  2. potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair.
(3)  Penyiapan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan:
a.   perencanaan WP; dan
b.   penetapan WP.

BAB II
PERENCANAAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
Perencanaan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a disusun melalui tahapan:
a.   inventarisasi potensi pertambangan; dan
b.   penyusunan rencana WP.

Bagian Kedua
Inventarisasi Potensi Pertambangan


Pasal 4
(1)   Inventarisasi potensi pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi potensi pertambangan yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana penetapan WP.
(2)   Potensi pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan atas:
a.   pertambangan mineral; dan
b.   pertambangan batubara.
(3)   Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang:
a.   mineral radioaktif;
b.   mineral logam;
c.   mineral bukan logam;
d.   batuan; dan
e.   batubara.
(4)   Pengaturan mengenai komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 5
(1)  Inventarisasi potensi pertambangan dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan.
(2)  Penyelidikan dan penelitian pertambangan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi.
(3)  Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a.    formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara;
b.    data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;
c.    data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yang masih berlaku, yang sudah berakhir, dan/atau yang sudah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya; dan/atau
d.    interpretasi penginderaan jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi.

Pasal 6
(1)  Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan oleh:
  1. Menteri, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
1.   lintas wilayah provinsi;
2.   laut dengan jarak lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan/atau
3.   berbatasan langsung dengan negara lain;
  1. gubernur, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
1.    lintas wilayah kabupaten/kota; dan/atau
2.    laut dengan jarak 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
  1. bupati/walikota, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
1.    kabupaten/kota; dan/atau
2.    laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
(2)  Dalam hal wilayah laut berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah penyelidikan dan penelitian masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah.
(3)  Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur.

Pasal 7
Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan secara terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 8
(1)  Dalam melakukan kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan, Menteri atau gubernur dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah.
(2)  Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan.
(3)  Dalam hal tertentu, lembaga riset negara dapat melakukan kerja sama dengan lembaga riset asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1)  Lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib:
a.    menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
b.    menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada Menteri atau gubernur yang memberi penugasan.
(2)  Lembaga riset asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) wajib:
a.    menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
b.    menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada lembaga riset negara yang bekerja sama dengannya paling lambat pada tanggal berakhirnya kerja sama.

Pasal 10
(1)  Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menetapkan wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang akan dilaksanakan oleh lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah dan dituangkan dalam peta.
(2)  Menteri dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
(3)  Gubernur dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/walikota setempat.
(4)  Bupati/walikota dapat mengusulkan suatu wilayah penugasan untuk dilakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada Menteri atau gubernur.

Pasal 11
Peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sebagai dasar dalam memberikan penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah.

Pasal 12
(1)   Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara.
(2)  Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh lembaga riset berdasarkan penugasan dari Menteri atau gubernur wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara.
(3)  Peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara.
(4)  Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri.
(5)  Berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri melakukan evaluasi.
(6)  Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan oleh Menteri sebagai bahan penyusunan rencana WP.

Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Wilayah Pertambangan

Pasal 14
(1)  Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk digital.
(2)  Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang di-delineasi dalam garis putus-putus.
(3)  Rencana WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan WP.

BAB III
PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 15
(1)  Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2)  WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3)  Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.

Pasal 16
(1)  WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dapat terdiri atas:
a.   WUP;
b.   WPR; dan/atau
c.   WPN.
(2)  WUP dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri.
(3)  WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota.
(4)  Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/kota dan dalam 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur.
(5)  Untuk menetapkan WUP, WPR, dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan eksplorasi.
(6)  Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi berupa:
  1. peta, yang terdiri atas:
1.    peta geologi dan peta formasi batuan pembawa;
dan/atau
2.    peta geokimia dan peta geofisika;
  1. perkiraan sumber daya dan cadangan.
(7)  Menteri dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
(8)  Gubernur dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/ walikota setempat.
(9)  Bupati/walikota dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan gubernur.

Pasal 17
(1)  Data dan informasi hasil eksplorasi yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota wajib diolah menjadi peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara.
(2)  Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat sebaran potensi/cadangan mineral dan/atau batubara.
(3)  Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta laporan hasil eksplorasi kepada Menteri.
(4)  Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam bentuk lembar peta dan digital.

Bagian Kedua
Wilayah Usaha Pertambangan

Paragraf 1
Umum

Pasal 18
WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.   WUP mineral radioaktif;
b.   WUP mineral logam;
c.   WUP batubara;
d.   WUP mineral bukan logam; dan/atau
e.   WUP batuan.

Pasal 19
(1)  WUP ditetapkan oleh Menteri.
(2)  Untuk WUP mineral radioaktif, penetapannya dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran.

Penyusunan Rencana Penetapan
Wilayah Usaha Pertambangan

Pasal 20
(1)  Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WUP berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2)  WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
  1. memiliki formasi batuan pembawa batubara, formasi batuan pembawa mineral logam, dan/atau formasi batuan pembawa mineral radioaktif, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi;
  2. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, mineral logam, batubara, mineral bukan logam, dan/atau batuan;
  3. memiliki potensi sumber daya mineral atau batubara;
  4. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya dan/atau batubara;
  5. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN;
  6. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan; dan
  7. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.


Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan

Pasal 21
(1)  Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WUP oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
(2)  WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas:
a.   WIUP radioaktif;
b.   WIUP mineral logam;
c.   WIUP batubara;
d.   WIUP mineral bukan logam; dan/atau
e.   WIUP batuan.
(3)  Penetapan WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan WUP diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Pasal 22
(1)  Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus memenuhi kriteria:
a.   letak geografis;
b.   kaidah konservasi;
c.   daya dukung lingkungan;
d.   optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e.   tingkat kepadatan penduduk.
(2)  Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan berada pada:
  1. lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan oleh Menteri pada WUP;
  2. lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil ditetapkan oleh gubernur pada WUP; dan/atau
  3. kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan oleh bupati/walikota pada WUP.
(3)  Pada wilayah laut yang berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah kewenangan masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah.
(4)  Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur.
(5)  Penetapan WUP mineral bukan logam dan/atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7)  Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 23
(1)  WIUP mineral logam dan/atau batubara ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat.
(2)  WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24
Dalam hal di WIUP mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUP terlebih dahulu.

Pasal 25
Ketentuan mengenai pemberian WIUP diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

Bagian Ketiga
Wilayah Pertambangan Rakyat

Pasal 26
(1)  Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2)  WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
a.    mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai;
b.    mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c.    merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d.    luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare;
e.    menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;
dan/atau
f.     merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun;
g.    tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan
h.    merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 27
(1)  Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.
(2)  Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur.
(3)  Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan pertimbangan berkaitan dengan data dan informasi yang dimiliki pemerintah provinsi yang bersangkutan.
(4)  Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperoleh pertimbangan.

Bagian Keempat
Wilayah Pencadangan Negara

Umum

Pasal 28
Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Penyusunan Rencana Penetapan
Wilayah Pencadangan Negara

Pasal 29
(1)  Menteri menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2)  WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
  1. memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi;
  2. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi;
  3. memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; dan
  4. untuk keperluan konservasi komoditas tambang;
  5. berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain;
  6. merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau
  7. berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penetapan Wilayah Pencadangan Negara dan
Wilayah Usaha Pertambangan Khusus

Pasal 30
(1)  Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPN oleh Menteri setelah memperhatikan aspirasi daerah dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2)  WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WUPK.

Pasal 31
(1)  WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi WUPK dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2)  Perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan:
  1. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
  2. sumber devisa negara;
  3. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;
  4. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;
  5. daya dukung lingkungan; dan/atau
  6. penggunaan teknologi tinggi dan modal inventasi yang besar.

Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus

Pasal 32
(1)  Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) harus memenuhi kriteria:
  1. letak geografis;
  2. kaidah konservasi;
  3. daya dukung lingkungan;
  4. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
  5. tingkat kepadatan penduduk;
(2)  WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.   WIUPK mineral logam; dan/atau
b.   WIUPK batubara.
(3)  Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUPK mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUPK berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 33
Dalam hal di WIUPK mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUPK terlebih dahulu.

Pasal 34
Ketentuan mengenai pemberian WIUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

Bagian Kelima
Delineasi Zonasi Untuk WIUP atau WIUPK Operasi
Produksi Dalam Kawasan Lindung

Pasal 35
(1)  Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi.
(2)  Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung.
(3)  Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara melakukan delineasi diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
DATA DAN INFORMASI

Bagian Kesatu
Pengelolaan Data dan Informasi

Pasal 36
(1)  Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengelola data dan/atau informasi kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya.
(2)  Pengelolaan data dan/atau informasi meliputi kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan data dan/atau informasi.
(3)  Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan data dan/atau informasi usaha pertambangan kepada Pemerintah.
(4)  Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan milik negara dan dikelola oleh Menteri.
(5)  Hasil pengelolaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk:
  1. penetapan klasifikasi potensi dan WP;
  2. penentuan neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional; atau
  3. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mineral dan batubara.

Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan data dan/atau informasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Sistem Informasi Geografis

Pasal 38
(1)  WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK.
(2)  Sistem koordinat pemetaan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional.
(3)  Sistem informasi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diakses oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi WP diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1.    Instansi Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menggunakan sistem koordinat peta berdasarkan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional wajib menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
2.    Wilayah surat izin pertambangan daerah dan wilayah kuasa pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah atau Kuasa Pertambangan yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan menjadi WIUP dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
3.    Wilayah kontrak karya dan wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar